Beranda | Artikel
Tafsir Al-Fatihah (4)
Senin, 27 Agustus 2012

Mukadimah Keempat

Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:

  • Kewajiban mengikuti manhaj para sahabat
  • Cara salafus shalih mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah
  • Ahli tafsir diantara para sahabat dan tabi’in
  • Salafus shalih adalah imam dalam ilmu dan amal
  • Ilmu-ilmu yang menopang ilmu tafsir

[1] Kewajiban Mengikuti Manhaj Sahabat

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya…” (QS. At-Taubah: 100)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan menelantarkan dia dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam Jahannam. Sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)

Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18). Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya [7/262] bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan– adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)

Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Ayat-ayat di atas membimbing kita untuk mengikuti mereka dengan baik. Jalan yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah sumber kesesatan. Adapun istilah salafi merupakan penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansaab dan adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ . Seperti contohnya pujian adz-Dzahabi terhadap Imam ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalah seorang salafi.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim)

Salafiyah adalah sebuah manhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam hal tazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)

Syaikhul Islam mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia dengannya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16)

[2] Cara Salafus Shalih Mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah

Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami tidaklah mempelajari sepuluh ayat lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami pelajari apa yang terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyepakatinya (lihat catatan kaki al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])

Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya di dalam al-Mushannaf, dari Abu Abdirrahman as-Sulami. Beliau berkata, “Dahulu apabila kami mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, maka tidaklah kami mempelajari sepuluh ayat berikutnya sampai kami memahami kandungan halal dan haram, serta perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya.” (disebutkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])

Imam Abu Bakar al-Anbari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Sesungguhnya kami mengalami kesulitan dalam menghafalkan al-Qur’an tetapi mudah bagi kami mengamalkannya. Dan kelak akan datang kaum setelah kami, ketika itu begitu mudah menghafalkan al-Qur’an tetapi sulit bagi mereka mengamalkannya.” (disebutkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/69])

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ulama hadits berpesan, tidak semestinya seorang penimba ilmu hadits mencukupkan diri dengan mendengar dan mencatat hadits tanpa mengetahui dan memahami kandungannya. Sebab hal itu akan membuang tenaganya dalam keadaan dia tidak mendapatkan apa-apa. Hendaknya dia menghafalkan hadits secara bertahap. Sedikit demi sedikit seiring dengan perjalanan siang dan malam.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])

Ma’mar mengatakan: Aku pernah mendengar az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara instan maka ia akan hilang dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh dengan menekuni satu atau dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])

Tatkala begitu banyak orang yang menimba hadits pada masa al-A’masy maka ada yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau menjawab, “Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya akan mati. Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Dan sepertiganya lagi, dari setiap seratus orang hanya akan ada satu orang yang berhasil -menjadi ulama-.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah oleh Hatim bin ‘Arif al-‘Auni hafizhahullah, hal. 28)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu hendaklah dia mendalaminya dengan baik, supaya ilmu-ilmu yang rumit tidak menjadi sirna.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)

Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)

[3] Ahli tafsir diantara para sahabat dan tabi’in

Diantara para sahabat yang masyhur sebagai ahli tafsir adalah keempat khalifah sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja riwayat tafsir dari ketiga khalifah yang pertama tidak sebanyak riwayat tafsir yang dibawakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hal itu dikarenakan pada masa itu mereka tersibukkan dengan urusan khilafah dan sedikitnya kebutuhan periwayatan pada masa itu dan juga masih banyak orang yang memahami tafsirnya. Selain itu, para sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir di kalangan para sahabat adalah Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 33-34)

Adapun para ulama tafsir di kalangan tabi’in cukup banyak, diantara mereka adalah:

  1. Para ulama Mekah yang berguru kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, semacam Mujahid, ‘Ikrimah, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah
  2. Para ulama Madinah yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, semacam Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi.
  3. Para ulama Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, semacam Qotadah, ‘Alqomah, dan asy-Sya’bi (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 37)

[4] Salafus Shalih adalah imam dalam ilmu dan amal

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 142). Beliau juga mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22).

Oleh sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)

[5] Ilmu-ilmu yang menopang ilmu tafsir

Untuk bisa memahami ilmu tafsir dengan baik, maka dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang menjadi penopang dan pendukung atasnya, antara lain:

  1. Ilmu akidah atau tauhid, hal ini akan membentengi diri dari penyimpangan akidah
  2. Ilmu as-Sunnah atau hadits beserta fikihnya, sebagai penjelas terhadap ajaran al-Qur’an
  3. Ilmu bahasa arab -terutama nahwu dan shorof- dan ushul fikih (lihat Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an oleh Manna’ al-Qaththan, hal. 329-331 dengan ringkas dan sedikit penambahan)

Kesimpulan:

  1. Wajib mengikuti metode salafus shalih dalam memahami tafsir al-Qur’an
  2. Metode yang benar dalam memahami tafsir al-Qur’an adalah dengan memahami kandungan ayat dan hadits secara bertahap, sedikit demi sedikit, dan terus-menerus sampai mati
  3. Diantara para sahabat yang masyhur dalam hal tafsir adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhum beserta murid-murid mereka dari kalangan tabi’in seperti Qotadah, Mujahid, dan Abul ‘Aliyah rahimahumullah
  4. Salafus shalih tidak hanya menjadi teladan dalam hal ilmu, namun mereka juga menjadi teladan dalam hal amal. Sebab ilmu merupakan sarana menuju amal
  5. Diantara ilmu terpenting yang harus dikaji bagi orang yang ingin mendalami tafsir adalah ilmu tauhid, hadits, fikih, ushul fikih, dan bahasa arab. Diantara itu semua maka kaidah bahasa arab (nahwu dan shorof) adalah kunci untuk memahami ilmu-ilmu syari’at yang lain


Artikel asli: http://abumushlih.com/tafsir-al-fatihah-4.html/